Ketika Malu Menjadi Adab: Catatan Santri tentang Rasa yang Hilang

Penulis: Sheila Lathifatu Adawiyyah

Suatu sore menjelang maghrib, langit berwarna tembaga. Di serambi mushala putri, deretan sandal bersandar rapi seperti barisan kecil yang tahu sopan santun. Sejumlah santriwati berjalan cepat tapi pelan, suara langkahnya nyaris tak terdengar, jilbab mereka mengepak pelan di tiupan angin.

Di sudut mushola, seorang ustadzah tengah duduk membaca mushaf sembari menunggu adzan maghrib. Wajahnya teduh, tidak banyak bicara, tapi cukup satu lirikan darinya untuk membuat suasana hening. Semua tahu, bukan karena takut. Tapi karena segan. Karena malu.

Aku masih ingat betul ketika salah satu teman sekamar lupa menurunkan suara saat tertawa. Tak ada teriakan, tak ada sanksi. Hanya pandangan mata ustadzah dari balik jendela, lalu semua diam. Temanku langsung tertunduk, dan sejak itu, tak perlu diulang lagi.

Di pesantren, tidak semua aturan tertulis. Tidak semua kesalahan harus ditegur. Ada yang lebih dalam dari sekadar hukuman, yakni rasa malu. Ia tumbuh dari keteladanan, bukan ancaman. Ia hidup karena dibiasakan, bukan dipaksakan.

Malu bukan sekadar menutup aurat atau menundukkan pandangan. Di pesantren, malu adalah adab yang menjaga lisan, langkah, bahkan cara duduk. Ia seperti udara yang tak tampak, tapi menghidupi seluruh suasana. Dan ketika aku keluar dari pagar pesantren, barulah terasa betapa sunyi rasa itu di luar sana, rasa malu yang dulu begitu akrab, kini entah ke mana.

Suara-suara keras dianggap tidak sopan, apalagi jika terdengar di dekat ustadzah. Bahkan saat kami berbincang dengan teman sendiri, ada kesadaran kolektif untuk menurunkan volume suara begitu ada guru melintas. Kami tidak pernah diajari itu secara langsung. Tapi dari hari ke hari, kami menyerapnya lewat suasana, keteladanan, dan rasa saling jaga antar sesama santri.

Di ruang kelas, ketika ustadzah masuk, suasana menjadi hening, tidak ada yang berani bersuara dan duduk dengan tenang. Bila ada santriwati yang datang terlambat, ia akan mengetuk pintu dan menunduk saat meminta izin masuk, suara lirih dan kepala tertunduk menjadi simbol rasa hormat, sekaligus malu karena tidak disiplin waktu.

Dan satu hal yang paling lekat di ingatan: bila secara tak sengaja bertemu dengan santri putra di koridor luar atau di lapangan, kami langsung menunduk dan memalingkan wajah. Bukan karena merasa rendah, tapi sebagai bentuk kehormatan atas diri sendiri. Menjaga pandangan bukan hanya soal aturan agama, tapi ekspresi dari rasa malu yang lembut namun kuat. Kami tahu, harga diri perempuan itu bukan untuk diumbar, tapi dirawat dengan malu yang penuh kesadaran.

Budaya malu di pesantren bukan hasil hafalan atau ceramah panjang. Ia hidup dalam keseharian, dalam keteladanan ustadzah yang selalu sabar, lembut, dan tak banyak bicara tapi menggerakkan banyak hati. Malu tidak ditanamkan dengan marah, tapi tumbuh dari lingkungan yang penuh hormat, tenang, dan sadar diri.

Aku masih ingat hari itu. Pagi belum lama turun, dan kami sedang berkumpul di halaman untuk menyambut tamu. Aku merasa rapi dan pantas, kerudungku terpasang, baju longgar, semuanya tertutup. Tapi ketika seorang ustadzah lewat, ia berhenti sejenak di hadapanku, menatap lembut namun dalam.

“Kerudungmu masih belum menutup dada. Sayang, kamu cantik, tapi tak cukup malu…”

Kalimat itu lirih, tapi menghunjam. Bukan karena nadanya keras, justru karena lembutnya membuatku makin malu. Aku menunduk, wajah memanas. Saat itu aku ingin hilang ditelan lantai ubin yang dingin. Bukan karena ditegur di depan teman-teman, tapi karena aku sadar: aku lupa menjaga malu, lupa menjaga adab.

Di pesantren, kerudung bukan sekadar pelengkap seragam. Panjang kerudung mencerminkan seberapa besar rasa malu dan kehormatan yang kita jaga. Tidak menutup dada, berarti tidak menjaga batas diri. Bukan soal aurat saja, tapi soal kesadaran: apakah aku sudah cukup malu untuk menutup diri dari pandangan yang tak perlu?

Sejak awal kami diajarkan bahwa “malu adalah sebagian dari iman” (HR. Bukhari dan Muslim). Tapi kami tidak sekadar menghafalnya, kami merasakannya dalam keseharian.

Dalam budaya pesantren, malu bukan perasaan yang membuat seseorang rendah diri. Tapi sebaliknya, malu adalah penjaga harga diri. Santri yang punya malu dianggap punya benteng batin. Ia tidak mudah tergoda, tidak gampang mengikuti arus, dan tahu bagaimana bersikap bahkan ketika tidak diawasi.

Begitu aku meninggalkan pesantren dan masuk ke dunia luar, kampus, masyarakat, bahkan media sosial, aku seperti dibenturkan pada kenyataan yang terasa asing. Di luar pagar pesantren, malu tak lagi menjadi penjaga, bahkan sering kali dianggap penghalang.

Di ruang diskusi kampus, aku mendengar seseorang menyela pembicaraan dosen sambil tertawa, bukan karena ide yang menarik, tapi hanya ingin terdengar dominan. Bahkan di forum umum, laki-laki dan perempuan duduk terlalu dekat, berbicara tanpa batas, bercanda berlebihan. Tidak ada ruang untuk jaga diri. Tidak ada ruang untuk rasa malu.

Di media sosial, fenomena ini makin mencolok. Orang dengan mudah membagikan foto-foto pribadi, menulis umpatan, bahkan membuka aib sendiri dan orang lain, lalu mendapat tepuk tangan berupa like dan komentar. Malu? Sepertinya sudah bukan bagian dari kosakata publik hari ini. Padahal dulu, di pesantren, membuka aurat saja bisa membuat kami menangis. Melangkahi kaki teman tanpa permisi pun dianggap tak beradab.

Aku mulai merasa asing di tengah keramaian. Bukan karena merasa suci, tapi karena aku sadar: aku rindu rasa malu. Rindu suasana di mana diam adalah bentuk hormat, rindu tatapan ustadzah yang membuat kita menunduk, rindu lingkungan yang membuat kita selalu ingin memperbaiki diri, bukan karena dilihat orang, tapi karena takut mengecewakan hati sendiri.

Dulu, malu menjaga kami agar tidak berlebihan, agar tidak menyakiti, agar tidak mengumbar. Kini, rasa itu terasa hilang. Bukan karena dicabut, tapi karena pelan-pelan ditinggalkan.

Malu tidak menjadikan seseorang kaku. Justru, ia melenturkan hati. Ia mengajarkan kepekaan, tahu kapan harus bicara dan kapan diam, tahu kapan harus maju dan kapan menepi. Dan di dunia yang semakin ramai dengan suara-suara keras, malu adalah keheningan yang penuh makna.

Melalui tulisan ini, aku tidak sedang menghakimi dunia luar. Tidak juga memuja masa lalu. Aku hanya ingin mengingatkan, bahwa pernah ada satu ruang dalam hidup kita, di mana malu menjadi penjaga, bukan penjara. Di mana malu bukan perasaan rendah diri, tapi justru cara untuk meninggikan martabat.(*)

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.