
Di bawah kolong flyover yang biasanya sunyi, malam itu gegap gempita oleh semangat yang meluap. Bukan oleh orasi politik atau konser pop semata, melainkan oleh getaran nada-nada kebangsaan yang disulut dari nama-nama yang tak pernah padam: Gombloh, Leo Kristi, dan Franky Sahilatua. Mereka bukan sekadar musisi. Mereka adalah penjaga semangat juang dalam kehidupan berbangsa—lewat lagu.
Diskusi bertajuk “Nyanyian Kebangsaan” dalam rangka Koloni Seniman Ngopi Semeja menjadi ruang refleksi tentang pentingnya membumikan kembali semangat nasionalisme melalui musik. Tidak hanya nostalgia, tapi sebuah ajakan untuk menjadikan karya mereka sebagai pijakan moral di tengah krisis identitas dan banalitas budaya populer masa kini.
“Tanpa harus teriak NKRI harga mati, Gombloh sudah menyampaikan itu—dengan langsung menyentuh hati nurani,” ujar Arief Joko Wicaksono, pembicara utama malam itu. Ungkapan itu bukan sekadar pujian, tapi penanda bagaimana karya Gombloh seperti “Kebyar-Kebyar” punya daya magis: merasuk tanpa memaksa, menggugah tanpa membentak.
Pertanyaan mendasar dari diskusi ini adalah: ke mana semangat juang itu kini pergi? Di tengah dominasi musik hiburan dan budaya instan, karya bernyawa seperti “Pancasila Rumah Kita” terasa asing, bahkan jarang dikumandangkan di ruang publik. Ini memicu kekhawatiran tentang lenyapnya nilai-nilai luhur dari lanskap musik nasional.
“Musik kita hari ini lebih banyak untuk menari-nari, bukan merenung dan membangun jiwa,” kritik Embie C. Noer, ilustrator perfilman nasional yang hadir sebagai narasumber diskusi. Kesenjangan inilah yang menjadi konflik utama: antara budaya populer konsumtif dan seni yang berakar pada semangat juang dan nasionalisme.
Gombloh menulis dengan pilihan diksi yang menggugah: “Putih tulangku, Merah darahku…”—sebuah metafora yang tidak hanya puitis, tapi politis dan penuh semangat juang. Begitu juga Leo Kristi yang hidup dan berkeliling membawa konser rakyat, menjadikan panggung sebagai cermin denyut nadi rakyat kecil. Franky Sahilatua melalui “Pancasila Rumah Kita” membawa ide besar ke ranah paling sederhana: rumah, tempat nilai-nilai keadilan dan persatuan lahir.
“Apa jadinya jika anak-anak Indonesia tumbuh tanpa tahu siapa Gombloh? Tanpa tahu lagu-lagu Leo Kristi atau Franky Sahilatua?” tanya Arief.
Pertanyaan ini menggarisbawahi krisis identitas dan kekosongan ruh nasionalisme yang mengintai generasi muda. Maka perjuangan mereka bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga investasi nilai untuk masa depan.
Di sinilah titik tertinggi: dorongan agar karya-karya mereka tidak sekadar dikenang, tapi dilegalkan sebagai lagu nasional alternatif. “Beberapa karya mereka pantas diajarkan di sekolah-sekolah, diabadikan sebagai nama jalan atau gedung kesenian,” tegas Arief. Usulan ini tak hanya simbolik, tapi strategis: membumikan semangat juang lewat warisan budaya.
Tawaran konkret muncul: pembentukan panitia, usulan ke pemerintah daerah, dan dukungan dari masyarakat seni untuk mendorong legalitas nama dan karya mereka. Diskusi menjadi pemantik aksi, bukan hanya ruang wacana.
Bukan akhir, melainkan awal dari gerakan kebudayaan. Semangat juang bukan hanya milik para pahlawan bersenjata, tapi juga para seniman bersuara. Mereka yang lewat bait dan nada, telah menanamkan semangat untuk mencintai negeri ini dengan cara yang paling lembut—dan paling dalam.
Di antara kursi-kursi yang tak cukup menampung antusiasme, dan suara gitar yang menyanyikan “Kebyar-Kebyar”, malam itu satu pesan jelas bergema: Indonesia butuh semangat juang yang lahir dari hati, bukan dari doktrin. Lagu bisa jadi senjata, dan tiga nama itu telah menuliskan sejarahnya sendiri. “Mereka adalah pejuang dalam sunyi, pemahat semangat lewat nada,” pungkas Arief Joko Wicaksono. (*)
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.