Perjuangan Berbekal Semangkuk Bertiga

Penulis: Dini Puspita Ramadhani

Hidup sebagai anak pertama dengan dua saudara ibarat menuntun jalan dalam gelap. Tidak ada pilihan selain mencoba lebih dulu. Kala terjatuh dalam lubang, aku langsung menoleh dan memberitahu kedua adikku untuk menghindarinya. Saat jalan terasa mulus, aku persilakan keduanya mengambil jalur itu. Apa pun kulakukan demi dua kesayangan yang diamanahkan orang tuaku.

Bukan berarti tak punya bahu untuk bersandar. Ibu, bukan lagi sekadar bahu—beliau adalah savana luas yang hangat dan menenangkan. Membawa angin segar atas segala keruh di penglihatanku. Sering kali aku mengeluhkan lelahnya memberi tahu atau mengajarkan sesuatu kepada kedua kepala kecil itu. Tak bosan pula Ibu mengingatkan, yang membuat alisku mengerut sebal:

“Sabar, ya, Kak. Ajarin adiknya pelan-pelan, nanti juga mengerti.”

Dalam hati, aku mengeluh. Aku tidak pernah meminta diajari oleh orang tuaku, tetapi kedua kepala kecil ini selalu meminta ini dan itu—yang sering kali membuat kepalaku pening tujuh keliling. Sesederhana mengerjakan tugas harian, kepala kecil pertama memintaku menjelaskan cara mengerjakan tugas akuntansinya saat aku sendiri sibuk berkutat dengan tugas kuliahku. Mau membantu, tapi aku sudah keteteran. Tidak membantu, aku merasa kasihan. Akhirnya, aku menjelaskan secara singkat dan membiarkannya menyelesaikan sendiri.

Aku harus bersyukur, kepala kecil pertama ini—adik pertamaku—kini sudah memasuki tahun kedua di SMK-nya. Ia cukup dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Walaupun masih ada saja hal-hal konyol yang ia tanyakan, seperti soal uang jajan atau makan apa hari ini, ya, tipikal remaja jelang dewasa.

Lain hal dengan kepala kecil kedua, adik bungsuku, yang kini masih duduk di tahun keempat sekolah dasar. Untuk memberinya pengertian saja, aku harus menarik urat di leher atau menggertaknya dengan kesal. Anak laki-laki termuda di rumah jelas tabiatnya seperti itu, apalagi dengan dua kakak perempuan yang sering ia jadikan sasaran kejahilan.

Sebelumnya, aku tidak menyadari peranku sebagai seorang kakak, sebagai anak pertama di keluarga kecil ini. Mengeluh dengan hal-hal kecil atau mengadu seperti tidak terima menjadi yang tertua.

Menarik ulang masa lalu, kala aku masih menjadi anak satu-satunya di keluarga kecil ini, betapa dimanjakannya hidupku. Apa saja dituruti: mainan, kue, sepeda, baju bagus? Semuanya aku dapatkan dengan mudah. Sayangnya kedua adikku tidak juga merasakan masa emas itu.

Ketika mereka mulai mengerti cara menikmati hidup, Ayah justru jatuh sakit, yang membuatku harus menjaga kedua adikku di rumah, hanya bertiga. Sementara Ibu sibuk merawat Ayah di rumah sakit, aku yang saat itu baru berumur 14 tahun sudah sibuk mengurus kedua adikku yang masih kecil.

Tak jarang aku merasa sedih saat kami harus memakan semangkuk mi bertiga—hanya itu yang bisa kami makan sambil menunggu Ibu pulang. Tangis kusembunyikan saat melihat keduanya makan apa pun yang tersedia di rumah. Kadang, saat tak ada apa pun untuk dimakan, keduanya bertanya, “Kak, aku lapar, ada yang bisa dimakan?” dan jawabanku hanya, “Sabar, ya… tunggu Ibu.”

Ayah tidak lagi bekerja karena sakit. Keadaan di rumah semakin memburuk. Aku akan memasuki SMA kala itu, dan adik pertama ku akan masuk SMP. Aku termenung di kasur usang tempat kami biasa tidur bersama. “Bagaimana melanjutkan pendidikan saat kondisi keluarga seperti ini?” pikirku.

Berbekal kabar dan informasi dari teman, aku bergerak sendiri, mendaftarkan diriku ke salah satu SMA negeri di Depok, juga mendaftarkan adikku ke salah satu SMP negeri. Hasilnya, aku diterima di SMA Negeri 1 Depok, sementara adikku tidak diterima di SMP impiannya.

Saat aku mengabari Ibu, beliau terkejut karena tidak tahu-menahu soal pendaftaran sekolah. Namun, rasa syukur terdengar jelas dari suaranya saat aku menghubunginya sore itu lewat telepon. Sementara adikku mulai ragu dengan pilihannya, “Aku bisa lanjut sekolah, kan? Enggak juga nggak apa-apa, Kak…” Dengan tegas aku menolak gagasannya, “Bisa kok, tenang aja.”

Setelah mencari informasi ke sana kemari, akhirnya adik pertamaku berhasil mendaftar di minggu terakhir sebelum pendaftaran ditutup. Tentu aku bersyukur—kedua adikku harus tetap mendapatkan pendidikannya.

Ayah akhirnya kembali ke rumah. Keadaan mulai membaik saat Ibu diterima bekerja membantu usaha milik temannya. Sayangnya, buah tak selalu manis. Ayah kembali dirawat karena penyakitnya, Ibu kembali menemani. Aku yang saat itu mulai bersekolah juga dirumahkan karena COVID-19 yang merebak. Hidup kembali terasa abu-abu, berjalan entah kemana tak tau arah.

Ibu berhenti bekerja sejenak, aku menggantikan. Di tengah sekolah daring, aku menggunakan waktuku untuk bekerja di sebuah toko sebagai seorang Kasir. Pendapatannya cukup untuk membantu orang tua dan makan sehari-hari. Hingga suatu hari, Tante dari keluarga Ayah menyarankan membawa kedua adikku ke rumahnya karena prihatin dengan keadaan kami bertiga.

Dengan berat hati, aku mengiyakan. Walau separuh hariku habis di tempat kerja, aku tetap butuh teman di rumah yang sepi. Dengan tidak adanya kedua kepala kecil itu di rumah, hidupku semakin hampa. Hari demi hari kujalani dengan monoton. Bangun pagi—kerja—pulang—tidur. Begitu terus berulang. Aku merasa sepuluh tahun lebih tua setelahnya.

Hingga akhirnya, kejadian yang sulit kuingat terjadi. Tengah malam aku terbangun dengan suara ketukan di pintu. Dengan berat aku bangun setelah seharian lelah bekerja, saat buka pintu, wajah panik saudara ku terlihat.

“Kamu nggak buka hp? Ibumu mau kasih kabar.” Ucap pria tua itu terburu-buru dengan suara seraknya. Mataku yang setengah mengantuk langsung terbuka, aku bergegas mengambil ponselku dan menyalakannya.

“Nak, Ayah sudah tiada…”

Jam dua pagi. Tanganku bergetar tak tertahankan saat melihat pesan dari Ibuku. Air mata berderai di pelupuk mataku, berlomba-lomba keluar membasahi wajahku.

“Tuhan, tolong, ini bohong…” bibirku bergetar saat aku menggelengkan kepalaku dengan cepat, kakiku tidak mampu menopang tubuhku saat aku terduduk di lantai. Semua kenangan terasa bak kaset rusak di pikiran ku, perlahan tangisan ku menjadi jeritan tertahan. Seperti duniaku yang sedang abu-abu menjadi gelap sepenuhnya.

Sabar.
Sabar.
Sabar.

Itulah yang dikatakan banyak orang yang menemuiku setelah proses pemakaman pria yang paling kucintai—Ayahku. Sudah beribu sabar kulakukan, dan dengan ikhlas, aku sabari lagi yang satu ini. Aku menatap kedua adikku dengan sedih, yang paling kecil bahkan tidak mengerti mengapa ayahnya dikubur di tanah. Aku menelan pahit saat ia bertanya, “Kak, Ayah enggak bakal pulang lagi, ya?”

Air mataku telah kering. Rumah yang ramai terasa sepi. Gerahnya siang hari membuatku dingin. Kehangatan perlahan hilang, digantikan dengan pikiran-pikiran bagaimana cara melanjutkan hidup. Rasanya dingin dan buram seperti embun pagi yang menutupi pandangan. Aku memutuskan untuk berhenti bekerja karena sekolah mulai dilaksanakan secara luring. Ibu kembali bekerja, satu-satunya tulang punggung di keluarga kecil ini.

Dengan kerja keras Ibu, kami melanjutkan sekolah dengan lancar hingga saat ini. Aku lulus sekolah, demikian juga adik pertama ku. Dia melanjutkan ke SMK, sementara aku kembali mengadu nasib untuk ke jenjang yang lebih tinggi.

Kembali, berbekal informasi dan tekad, aku mengikuti ujian masuk perguruan tinggi dan diterima. Tepat di hari ulang tahun Ayah, aku mendapatkan kabar baik penerimaan itu, yang membuat kami memutuskan untuk berziarah ke makamnya melepas rindu sekaligus memberi kabar anak pertamanya berhasil diterima kuliah.

Impiannya sejak dulu untuk anaknya, “Nanti kamu kuliah, ya, Kak. Ayah temenin tesnya, deh…” ucapnya dahulu dengan senyum khas di gigi ompongnya itu.

Semua yang kami lalui bukanlah perjalanan mudah. Namun dari setiap luka, tangis, dan tawa yang kami bagi bersama, aku belajar bahwa hidup adalah tentang terus melangkah—meski tertatih, meski sendiri. Aku mungkin bukan anak yang sempurna, tapi aku berusaha menjadi yang terbaik untuk dua kepala kecil yang selalu ku utamakan. Dalam keterbatasan, kami bertahan. Dalam kehilangan, kami belajar menerima. Dan dalam kesulitan, kami tumbuh bersama.

Inilah semangat juang hidup kami. Menghidupkan harapan, meski hanya berbekal semangkuk bertiga.

 

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.